By Nunik Widya Ningrum
Dalam proses pembentukan Indonesia menjadi sebuah negara,
tidak terlepas dari campur tangan kerjasama antar suku yang saat itu berasal
dari berbagai kerajaan nusantara. Bangsa Indonnesia bukan hanya terdiri satu
atau dua suku akan tetapi ratusan suku. Selain suku, terdapat juga berbagai
ragam jenis kepercayaan layaknya agama. Hal ini menunjukkan ciri khas yang
menjadikan Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk dibandingkan dengan bangsa
lain.
Apabila ditelusuri sejarah perjuangan, khususnya ketika perumusan
Pembukaan UDD’45 dilakukan, maka
akan melihat
bagaimana para perumus itu sangat menyadari keberagaman orang-orang yang
membentuk Indonesia, baik dari sisi etnisitas, daerah asal, dan agama. Tetapi
mereka semua bisa punya sebuah mimpi dan cita-cita yang sama. Di sisi lain, ada
orang-orang yang mengakui keberadaan ketuhanan yang Maha Kuasa sebagai sebuah
keyakinan yang membentuk cara berpikir dan bersikap. Dari pemahaman ini kita
tahu, bahwa apa pun agamanya, pasti akan bertemu pada suatu kepercayaan di mana
sebagai ciptaan Tuhan, manusia adalah mahluk yang sangat bermartabat dan mulia.
Karena itu mereka menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sebuah sila di
dalam Pancasila, di samping sila Perikemanusiaan.
Walaupun kelima
sila itu harus dipahami sebagai suatu kesatuan, tidak boleh terpisah-pisah, tetapi dari dua sila itu kita melihat bagaimana kedudukan manusia itu sangat
utama dan bahwa pada akhirnya, perjuangan itu bermuara kepada kemanusiaan yang
bermartabat. Dari situ maka dapat melihat bahwa
kesetaaraan adalah ekspresi dari penghargaan
kita kepada manusia sebagai ciptaan Tuhan. Digabungkan dengan kenyataan bahwa
kita beraneka ragam, maka dua hal itu menjadi sebuah kesatuan pemahaman, yaitu
bahwa kita ini majemuk tapi juga setara.
Pada dasarnya kemajemukan yang terdapat dalam tubuh bangsa Indonesia
merupakan suatu anugerah yang dapat mendatangkan sebuah peluang atau bahkan
tantangan. Perbedaan dapat menjadi peluang apabila perbedaan tersebut dapat diatasi
dengan sikap saling menghargai sehingga melalui perbedaan maka dapat muncul
kondisi saling melengkapi. Perbedaan yang ada akan menjadi sebuah aset bagi
bangsa dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi. Bangsa dengan kemampuan mengelola
perbedaan akan lebih siap menghadapi perubahan sosial yang datang dari luar
dirinya. Perbedaan yang terdiri dari keanekaragaman suku, adat, agama, ras
menjadi nilai tambah karena hal tersebut menunjukan kekayaan sekaligus
identitas bangsa. Karena tidak semua bangsa di dunia ini yang memiliki
keragaman seperti Indonesia.
Selain menjadi
peluang, perbedaan ternyata dapat juga menjadi tantangan berbahaya bagi
keutuhan sebuah negara. Ini dikarenakan perbedaan suku, adat, ras, agama adalah
suatu hal yang vital dan sensitif bagi setiap lapisan masyarakat. Celakanya,
akhir-akhir ini sangat sering ditemukan gejala yang mengarah ke hal tersebut.
Persatuan bangsa Indonesia sedang diuji oleh berbagai kejadian yang dapat
mengarah pada ancaman disintegritas.
Konflik
horizontal seperti SARA menjadi momok yang menakutkan karena tidak jarang
konflik ini berujung pada kekerasan dan mengancam ketentraman. Selain itu,
tindakan dari beberapa golongan ekstrimis penganut agama menjadi ancaman
tersendiri bagi kerukunan masyarakat Indonesia. Masih segar dalam ingatan yaitu
adanya pembakaran pesantren Syi’ah di Sampang tempo
lalu, pengusiran
jemaat Ahmadiyah dan penutupan masjidnya, penyerangan
terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, penutupan gereja GKI Yasmin di Bogor,
penusukan pendeta HKBP di Bekasi, tindakan kekerasan oleh FPI terhadap kelompok lain yang melakukan maksiatketika
bulan puasa atau lebih dari itu penyerangan terhadap warga yang berjualan
makanan saat bulan puasa, dan masih banyak lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa isu
agama adalah permalahan yang penting untuk diselesaikan guna menumbuhkan
kondisi integritas bangsa.
Selain itu,
adanya fenomena teroris yang mengatasnamakan Islam dengan cara bom bunuh diri
sangat meresahkan bangsa ini dalam sepuluh tahun terakhir. Banyak pihak mengecam
dan menyalahkan Islam atas kejadian tersebut karena aksi itu ap sebagai sebuah perjuangan membela agama atau dengan kata
lain “jihad” olehpelakunya. Jihad adalah konsep perjuangan membela agama dalam Islam. Hal
inilah yang menjadi awal mula teroris diidentikan
dengan Islam. Padahal, konsep
jihad yang dilakukan teroris dengan jalan bom berbeda jauh dari konsep jihad
yang sebenarnya sesuai dengan Al-Qur’an. Tindakan tersebut tidak
lain adalah
bentuk dari radikalisme agama oleh sejumlah penganutnya.
Dari
serangkaian kasus yang terus terjadi, muncul kesan pembiaran. Penanganan
aparatur pemerintah cenderung reaksioner. Dari hari ke hari kasus radikalisme
terus terjadi dan tidak jelas apa capaian penanganan pemerintah. Ini
memunculkan dugaan ketidakseriusan pemerintah menangani radikalisme
agama.Kesannya justru radikalisme agama menjadi komoditas politik sebagai
pengalih isu.[1]
Apabila
berbicara negara maka secara otomatis pemegang
kewajiban terbesar darinegara adalah pemerintah. Terlebih lagi
Indonesia adalah mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka sudah sepatutnya
isu ini menjadi fokus penting bagi semua pihak terutama pemerintah.
KeIslaman,
kemodernan dan keIndonesian adalah tiga hal yang tidak dapat terpisahkan saat
ini. hal tersebut dikarenakan ketiganya saling membutuhkan satu sama lain. Bukan
berarti keIslaman, kemodernan dan keIndonesian berjalan mulus tanpa tantangan.
Tantangan selalu hadir seiring berkembangnya keIslaman, kemodernan dan
keIndonesian. Untuk menjawab apa saja yang menjadi tantangan ketiganya dalam
mengahadapi radikalisme agama maka makalah ini dibuat sebagai pengkajian lebih
dalam atas masalah tersebut.
Tantangan bagi keIslaman, kemodernan,
dan keIndonesian terhadap radikalisme agama.
Kesatuan
kenyataan yang sulit dibantah adalah bahwa bangsa Indonesia ini sangat beragam,
tidak hanya dilihat dari sudut fisik seperti warna kulit dan tempat tinggal
yang terpisah-pisah di begitu banyak pulau, tetapi juga sudut budaya dan agama.
Tidak bisa dipungkiri pula bahwa masyarakat kita
yang sangat beragam juga memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam
perjumpaannya dengan agama-agama besar di dunia. Budhisme dan Hinduisme
tampaknya terlebih dahulu bersentuhan dengan orang-orang nusantara, kemudian disusul
dengan agama-agama lain seperti Konghucu, Islam dan Kristen. Selain itu, aneka
ragam kepercayaan lokal yang sering disebut dengan “primitivisme” telah
terlebih dahulu ada sebelum datangnya agama-agama besar tersebut.
Kenyataan
demikian cukup bisa menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang Plural dan
bukan hanya Islam yang menjadi satu-satunya agama dalam bangsa ini. perbedaan
atau kemajemukan tersebut harus diperhatikan dan dijaga dengan sebaik mungkin.
Hal itu dikarenakan, perbedaan merupakan faktor yang efektif menuju perpecahan
apabila tidak dihadapi dengan benar. Pemeluk agama memiliki peran yang
signifikan dalam keberlangsungan citra agama yang dipeluknya.
Mengenai peran
agama, sebenarnya terdapat 2 konsep penting yang dimiliki setiap agama yang
bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain yakni fanatisme
dan toleransi. Kedua hal ini harus dipraktekkan manusia dalam pola yang
seimbang. Sebab ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan problem
tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama
tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna ajaran agama meraka,
selain bahwa eksistensi agama mereka juga akan melemah karena dalam situasi ini
orang terkadang tidak lagi bangga dengan agama yang mereka peluk. Agama bisa
saja akhirnya hanya menjadi sekedar ritual karena agama yang bersangkutan sama
derajat dan kebenarannya dengan agama lainnya yang ada. Sebaliknya, fanatisme
yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama
lain. Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan
atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim(klaim
kebenaran) yang bersifat eksklusif. Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang
penganut agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial,
terutama ketika ia menjadi mayoritas.
Dalam kondisi
mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara pemaksaan dan
kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya. Selain masalah fanatisme dan
toleransi seperti di atas, agama juga mendorong pemeluknya untuk memiliki
keterikatan dengan agama yang dianutnya. Keterikatan ini bisa diimplementasikan
melalui bentuk-bentuk ritual (praktek keagamaan) secara ketat, selain dengan
penghayatan tingkat tinggi kepada ajaran-ajaran agama mereka. Dalam situasi
tertentu, tuntutan keterikatan ini bisa memunculkan sikap-sikap radikal, yang
bahkan bisa menjurus kepada tindak kekerasan, karena hal itu berkaitan dengan
upaya secara ketat menjalankan ajaran agama dan secara keras meluruskannya
ketika agama mereka dianggap telah diselewengkan.
Fenomena
radikalisme agama yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sangat menyita
perhatian banyak pihak. kehadiran radikalisme agama sangat memungkinkan dalam
setiap aspek dalam keIslaman kemodernan dan keIndonesian. Dalam perkembangannya
keIslaman kemodernan dan keIndonesian dihantui oleh sosok radikalisme agama
yang menjangkiti tubuh sebagian golongan yang ada di masyarakat.
Sebelum lebih
jauh membahas tentang fenomena radikalisme agama maka ada baiknya terlebih
dahulu untuk mengetahui konsep dari radikalisme agama. Secara semantik,
radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi
Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme”
adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang
ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan
ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya
perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim.[2] Apabila
kita melihat pengertian diatas maka konsep radikalisme identik dengan kekerasan
untuk mewujudkan perubahan ideal menurutnya kelompoknya.
Fenomena yang
telah terjadi belakangan ini seperti kasus penyerangan satu kelompok terhadap
kelompok lain diluarnya menunjukkan gejala radikalisme yang hampir menyusup
masuk ke dalam kehidupan di sekitar masyarakat. Tampaknya gerakan Islam, baik yang
fundamentalis ataupun yang bukan, ada baiknya merenungkan apa yang dikemukakan
oleh Armahedi Mahzar. Menurutnya, kita harus meninggalkan tiga macam
kesombongan yang dapat merusak gerakan-gerakan Islam itu sendiri: kesombongan
intelektual dengan memutlakkan kebenaran pandangan sendiri (absolutism); kesombongan sosial berupa sikap tertutup dan tidak mau
berdialog dengan pihak lain (eksklusivisme); dan terakhir, kesombongan
emosional berupa sikap yang fanatik pada pandangan sendiri (fanatisme)[3]
Radikalisme
agama dalam konteks ini yaitu radikalisme agama yang mengarah pada agama
Islam. Hal ini dikarenakan dari berbagai kasus yang ada selalu melibatkan
penganut Islam. Islam sepertinya sedang mendapat ujian dari berbagai aspek
seperti masyarakat, perkembangan zaman, serta pemeluknya sendiri. Kenyataan
yang ditangkap pada hari ini adalah bahwa Islam sebagai agama yang ekslusif dan
tidak mampu menerima perbedaan yang ada. Hal ini cukup beralasan apabila
berkaca pada kejadian yang mengatasnamakan Islam seperti kasus-kasus tersebut.
Padahal sama sekali tidaklah benar bahwa Islam sulit menerima perbedaan dan
bentuk kekerasan menjadi modal utama dalam perkembangannya.
Islam tidaklah
seperti yang dicitrakan selama ini yaitu penuh kekerasan dan tidak mampu
menerima perbedaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan sejarah bagaimana Islam
masuk ke kehidupan bangsa Indonesia. Dalam seminar sejarah masuknya Islam ke
Indonesia di Medan tanggal 21 s.d. 24 Syawal 1382 H, bertepatan tanggal 17 s.d.
20 Maret 1963 dikatakan bahwa menurut sumber-sumber yang kita ketahui,
Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada Abad 1 Hijriah (abad
ketujuh/kedelapan Masehi) dan langsung dari Arab. Selain itu juga, terdapat
kenyataan bahwa dalam roses peng-Islaman selanjutnya orang-orang Indonesia ikut
aktif mengambil bagian dan yang lebih terpenting lagi bahwa penyiaran Islam di
Indonesia dilakukan dengan cara damai.
Islam dalam
proses penyebarannya terbilang cukup cepat dan pesat. Hal ini dikarenakan
beberapa faktor yang mendukungnya antara lain bahwa karena daya lentur (fleksibilitas)
ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai universal.
Dengan demikian, ajaran Islam dapat berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis
situasi kemasyarakatan. Karena watak ajaran yang demikian itu, maka Islam tidak
secara serentak menggantikan seluruh tatanan nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat.[4]
Islam
memberikan legalitas berijtihad mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. “Kamu
lebih tahu mengenai urusan-urusan duniamu” kata Nabi Muhammad SAW.
Untuk mencapai masyarakat adil makmur yang diberkati, ‘baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafur’. Umat Islam
dan penganut agama lain perlu menyadari dan setuju untuk mewujudkan kerja sama dengan dukungan dialogis Islam bersamaagama lain agar menjadi sebuah
keniscayaan.
Sebenarnya
Islam tidak menganjurkan umatnya untuk melakukan paksaan terhadap umat agama
lain untuk memasuki Islam. Tugas orang
hanyalah menyampaikan agama kepada orang lain yang diyakini kebenarannya, tidak
memaksakan dia untuk menerimanya. Hal ini ditetapkan karena manusia dianggap
sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri
mana yang benar dan mana yang salah. Manusia dianggap sudah dapat menentukan
jalan hidupnya yang benar. Hal ini seperti apa yang ditercantum dalam
Al-Qur’an.
“Tidak ada
paksaan bagi dalam (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu, barang siapa yang ingkar
kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada tali aman yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan
Maha Mengetahui”[5]
Dari pemaparan
diatas sangatlah jelas bahwa ternyata Islam yang sesungguhnya adalah sebuah
agama tanpa kekerasan. Islam tidak sama dengan radikalisme agama seperti yang
dilabelkan saat ini.
Solusi untuk mengatasi tantangan
tantangan bagi keIslaman, kemodernan, dan keIndonesian terhadap radikalisme
agama.
Dari sekian
banyak faktor pemicu, faktor perbedaan agama, bahkan perbedaan faham keagamaan,
merupakan faktor yang tidak bisa dikesampingkan. Kasus-kasus kerusuhan dan
peperangan di berbagai belahan dunia, menunjukkan betapa agama telah dijadikan
alat “penghancuran” manusia, di mana hal ini sangat bertentangan dengan ajaran
semua agama. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama berabad-abad, sejarah
interaksi antarumat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan
permusuhan dengan dalih dapat mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar
gembira yang bersumber dari yang Mahakuasa[6] padahal
sejatinya, setiap agama mengajarkan perdamaian, kebersamaan sekaligus menebar
misi kemaslahatan. Atas dasar itu, menjadi penting untuk ditelusuri akar
terjadinya konflik tersebut, terutama dari aspek model pola kepemelukan agama
sekaligus kemudian, dicoba dikedepankan alternatif untuk mengatasi hal itu
dengan bertitik tolak dari ajaran agama dan model kepemelukan terhadapnya.
Sehubungan
dengan model kepemelukan terhadap agama, secara dikotomis, terdapat pola
kepemelukan yang sedemikian tertutup dan kaku terhadap agama lain, dan juga
terdapat pola kepemelukan agama yang bersikap positif terhadap perbedaan agama.
Untuk model kepemelukan yang tertutup dan kaku terhadap perbedaan, dapat
diidentifikasi pada model kepemelukan eksklusivisme. Kemudian, model
kepemelukan yang bersikap terbuka terhadap perbedaan, dapat diidentifikasi pada
pola kepemelukan dengan corak inklusivisme.
Model
kepemelukan inklusivisme menjadi solusi bagi terciptanya kehidupan yang rukun antar umat beragama. Sedangkan eksklusivisme merupakan sikap
yang dapat menjadi faktor munculnya disintegrasi antar umat beragama. Oleh
karena itu, dalam penjelasan sebelumnya, eksklusivisme atau sikap
eksklusif dari pemeluk agama menjadi tantangan bagi keberlangsungan keIslaman, kemodernan, dan keIndonesiaan. Hal ini dikarenakan sikap
eksklusif atau eksklusivisme dapat menyebabkan hal yang paling ditakuti oleh
masyarakat saat ini yaitu sikap radikalisme agama yang akan membahayakan golongan
selain golongan pelakunya.
Islam tidak
dapat dipisahkan dengan kemodernan dan keIndonesian. Konteks Indonesia yaitu
Islam menjadi sebuah agama nonArab atau dapat dibilang bukan “Arabisasi” karena
Islam dapat tetap eksis dan hadir tanpa memaksakan bentuknya menjadi sama
dengan negara asal yaitu Arab. Islam harus
terbuka dengan arus modernisasi yang mengedepankan rasionalisasi bukan berarti
westernisasi[7].
Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau
hampir identik dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses
perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan
menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional. Kegunannya
ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan
dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan.
Sedangkan ilmu pengethauan, tidak lain adalah hasil pemahaman manusia terhadap
hukum-hukum objektif yang menguasai alam, ideal dan material, sehingga
alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis.
Berdasarkan
pemaparan tentang apa yang dimaksud dengan modern maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa sebenarnya Islam tidaklah bertentangan atau melarang umatnya untuk
terlibat dalam arus kemodernan. Kemodernan yang berarti mendatangkan banyak
manfaat dan tetap mengedepankan Tuhan (tauhid). Memasuki tahun 2012 dengan
berbagai perubahan sosial yang terjadi meliputi kemodernan adalah suatu kondisi
yang sudah barang tentu dihadapi oleh bangsa Indonesia. Islam terbuka dengan
arus kemodernan yang mengedepankan rasionalitas. Menghilangkan tradisi lama
yang berupa mitos yang tidak terdapat manfaat di dalamnya bagi manusia.
Selain
kemodernan, Islam juga harus mampu bertahan dan berjalan beriringan dengan
konsep keIndonesian karena hadir dalam Negara Indonesia. Islam
keIndonesian sebagai bagian dari Islam di Indonesia memiliki wajah tersendiri.
Dia lebih merupakan interpretasi terhadap masyarakat (muslim) secara
sosio-antropologis. Bukan domain aturan absolut teologis atau instrumen
legal-formal yang bernama fiqh. Konstruksi muslim Indonesia sudah
majemuk dari awalnya ketika Islam sebagai agama vis a vis masyarakat
lokal yang telah ada sebelum Islam masuk. Tentulah agama yang menjadi rahmatan
lil’alamiin ini tetap dengan cita-cita transendennya yang mulia
sebagai penyebar kasih sayang dan rahmat. Interaksi Islam sebagai agama dengan local
genius tersebut tidak berhenti pada titik temporal saja, sebutlah saat
penyebaran Islam oleh Wali Songo dan pendakwah Islam nusantara lainnya.
Namun interaksi tersebut tetap mengalir terjadi sampai era postmodern sekarang
ini. Islam benar-benar memasyarakat dan hidup di tengah tradisi lokal yang
ramah juga dengan perubahan. Islam keIndonesian merupakan manifestasi atau
ekspresi keberagamaan umat Islam Indonesia yang selalu berinteraksi dan hidup inhern dengan
nilai-nilai lokal.[8]
Sebagai seorang
cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid memiliki wawasan yang begitu luas.
Pemikiran-pemikirannya secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi
keIslaman, keIndonesian dan kemodernan. Seperti apa yang dikatakan oleh M.
Syafi’i Anwar dalam Jurnal Ulumul Qur’an, sebagai berikut:
Kalau diamati dengan seksama dan sabar,
pemikiran Nurcholish pada dasarnya merupakan dialektika tiga ide dalam
kesatuan, yakni: keIslaman, kemodernan dan keIndonesian. Dialektika dan
kesatuan tiga ide besar itu, melahirkan ide-ide pendukung (supporting
ideas) yang berfungsi memperkuat konstruksi seluruh bangunan ide,
yakni neo-modernisme, integrasi dan pembangunan. Adapun untuk mempersatukan
seluruh konstruksi bangunan ide adalah teologi inklusif. (M. Syafi’i Anwar)
Nurcholish
Madjid mencoba memberi keyakinan bahwa Islam itu tidak bertentangan dengan
modernisasi. Dengan mengutip pendapat dari dua ahli sosiologi agama yaitu
Marshall Hodgson dan Ernest Gellner, Nurcholish Madjid ingin menumbuhkan rasa
percaya diri umat Islam dalam merespon modernisasi. Namun, walaupun Nurcholish
Madjid terbuka dengan modernisasi, beliau tetap apresiasi terhadap tradisi dan
intelektual Islam klasik yang kaya akan wawasan. Syafi’i Anwar mengatakan dalam
artikelnya sebagai berikut:
Berbeda dengan modernis lainnya,
Nurcholish sangat menekankan perlunya apresiasi terhadap tradisi dan
intelektual klasik Islam yang kaya dimensi itu, sambil menggunakannya untuk
memperkaya wawasan intelektual Islam yang baru. Itulah sebabnya ia sangat
apresiatif dengan jargon klasik kalangan ulama yang terkenal, yakni al
muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa ‘l-akhdi b’il-jadid al-aslah (memelihara
yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang baik. (M. Sayafi’i Anwar)
Apresiasi
Nurcholish Madjid terhadap warisan Islam klasik inilah yang membedakan beliau
dengan intelektual modernis lainnya. Dengan menghargai prinsip ini, Nurcholish
Madjid dengan mudah dapat mencari makna masyarakat madani yang berbeda dengan
konsep awalnya, yaitu civil society. Dengan metode seperti ini,
Greg Barton menyebutkan Nurcholish Madjid sebagai pelopor gerakan neo-modernis
di Indonesia.
Menyadari adanya pluralisme sebagai
kondisi obyektif bangsa Indonesia dan kecenderungan kearah konvergensi nasional
yang mantap, Nurcholish berpendapat bahwa penyiaran dan perkembangan Islam di Indonesia
memerlukan pemahaman dan strategi yang matang. Kemudian ia mengajukan argument
perlunya integrasi keIslaman dan keIndonesian. Sekalipun nilai-nilai dan ajaran
Islam itu bersifat universal, tetapi pelaksanaan ajaran agama Islam menuntut
pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya masalah politik, dalam kerangka konsep negara bangsa. Hal itu disebabkan karena bangsa Indonesia merupakan suatu
bangsa yang memiliki heterogenitas tertinggi secara fisik. Heterogenitas itu
menurut Nurcholish bukan saja merupakan sesuatu yang sudah given,
tetapi juga harus diperhitungkan. Memperhatikan fakta
ini ia berijtihad dengan mengatakan, setiap langkah
melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial
budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan.[9]
Bagi Nurcholish
Madjid, persoalan teologi Islam Indonesia ialah bagaimanamenjadikan umat Islam Indonesia tidak melihat lagi ada jarak antara
keIslaman dan keIndonesian. Hal ini bisa terwujud
jika Islam juga bisa tampil dengan tawaran-tawarankultural yang produktif serta konstruktif. Tawaran-tawaran tersebut,
setidak-tidaknya ada empat persyaratan.
Pertama, tawaran
kultural itu tidak semata-mata menunjukkan hal-hal yang
sempit, tetapi kultural yang mencakup dalam suatu format yang meliputi semua
aspek. Kedua, tawaran kultural itu harus responsif terhadap tuntutan untuk memenuhi kebutuhan yang kontemporer. Ketiga, tawaran
kultural yang tampil itu merupakan hasil dialog dengan kebutuhan ruang dan
waktu. Keempat, penampilan Islam di Indonesia harus secara
inklusif dan mengakhiri penampilan yang eksklusif.[10]
Gagasan yang
akan menjadi solusi atas permasalahan radikalisme agama dan mengikis sikap ekslusivisme dalam beragama di kehidupan
bangsa Indonesia saat ini dapat merujuk pada konsep sekularisasi ala
Nurcholish. Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme,
sebab secularsm is the name for an ideology, a new closed world view
which function very much like a new religion. Dalam hal ini, yang
dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses
pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang
disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan
hierarki nilai itu sendiri sering terbalik, transsendental
semuanya, bernilai ukhrawi tanpa terkecuali. Sekalipun mereka mengucapkannya
secara lisan, malahan memungkirinya, sikap itu tercermin dalam tindakan mereka
sehari-hari. Akibat hal itu, sudah maklum
menjadi cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis
sederajat dengan menjadi tradisionalis.
Karena membela
Islam menjadi sama dengan membela tradisi ini, timbul kesan bahwa kekuatan
Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kacamata hierarki
inilah, dikalangan kaum Muslim, telah membuat tidak sanggup mengadakan respon
yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.
Jadi
sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah
kaum Muslimin menjadi sekularis, tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan
nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam
dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental
untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan
kenyataan-kenyataan material, moral, atapun historis, menjadi sifat kaum
Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas
duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”. Fungsi khalifah Allah tentu
memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih
sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan
kehidupannya diatas bumi dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya
tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu dihadapan Tuhan[11]
Berangkat dari
pemaparan gagasan Nurcholish tentang sekularisasi dan sikap inklusif. Maka
untuk penerapan teknisnya dapat diberikan solusi Pendidikan agama (Islam)
multikultural pluralistik. Salah satu cara dalam membentuk model kepemelukan
inklusivisme terhadap agama adalah melalui promosi dan aplikasi Pendidikan
Agama (Islam) berbasis multikultural pluralistik. Pelaksanaan pendidikan agama
berbasis dan berwawasan multikultural pluralistik tersebut semakin dirasakan penting dan mendesak jika dikorelasikan dengan kenyataan bahwa
kemajemukan agama dan kemajemukan lainnya, seperti kemajemukan etnis, antar
golongan dan kemajemukan lainnya belakangan ini telah menjadi suatu hal yang
memancing eskalasi konflik yang sedemikian mengental pekat sebagaimana telah
disinggung di atas. Pada sisi lain, kondisi pendidikan agama yang diajarkan di
sekolah sangatlah memprihatinkan. Atas dasar itu, sosialisasi dan internalisasi
nilai-nilai multikultural pluralistik secara aktif intensif sejak dini kepada
terdidik sangat mendesak sehingga diharapkan nantinya mereka terbiasa dengan
suasana berbeda, bahkan memandang perbedaan dan keberbagaian dalam seluruh
aspek kehidupan merupakan sesuatu yang sudah semestinya, dalam arti tidak dapat
ditolak eksistensinya, sekaligus pada saat yang sama secara teologis menyadari
bahwa fenomena demikian merupakan Sunnat Allah(Devine order).
Pendidikan
agama (Islam) multikultural pluralistik adalah proses transformasi dan
internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha
mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam
konteksnya yang luas sebagai suatu grand design of God (Sunnat
Allah) yang mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah
kenyataan kemanusiaan yang plural multikultural dalam segala dimensinya guna
mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan. Dengan definisi yang lebih
operasional, dapat dinyatakan bahwa pendidikan agama (Islam) multikultural
pluralistik merupakan usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik
antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang
sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif positif terhadap pluralitas
dalam dimensi dan perspektif apapun, karena pendidikan agama berwawasan
multikultural pluralistik memiliki visi dan misi untuk mewujudkan agama
pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif terhadap pluralitas dan
peduli terhadap persoalan hidup yang komunal transformatif.[12]
Pendidikan agama (Islam) multikultural pluralistik ini dapat
menjadi rekomendasi ke tingkat struktur pemerintahan yakni kementrian
pendidikan nasional agar menambahkan pendidikan ini ke dalam kurikulum sekolah
SD sampai dengan perguruan tinggi. Hal ini menjadi penting karena mengingat
sekolah adalah sarana yang paling efektif dalam pembentukkan pola pikir serta
kepribadian anak. Sekolah adalah tempat para generasi penerus bangsa ini
selanjutnya maka perlu untuk diperhatikan pendidikan yang akan diberikan dan
diterapkan.
KESIMPULAN
Tantangan bagi
keIslaman, Kemodernan dan keIndonesiaan dalam melewati suatu perubahan sosial
saat ini adalah sikap eksklusif atau eksklusivisme. Sikap yang menutup diri
dari berbagai perbedaan yang ada di sekitarnya. Konteks fenomena ini adalah
dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang notabenenya adalah
bangsa yang dianugerahi kemajemukan dalam hal suku, adat, ras dan agama.
Setelah
mengetahui tantangan tersebut maka dicarikan sebuah solusi untuk menangkalnya
yakni lewat pemikiran Nurcholish Madjid dengan konsep Sekularisasi dan sikap
inklusivisme. Dan diterapkan lewat media pendidikan yakni Pendidikan agama
(Islam) multikultural pluralistik.
SARAN
Indonesia belum
terlambat untuk bergerak melakukan perubahan menuju ke arah yang lebih
baik. Hal ini dapat terwujud apabila tercipta suatu kesadaran kolektif dari
berbagai pihak yang peduli dengan nasib masa depan bangsa Indonesia. Kesadaran
yang ada harusnya menjadi stimulus untuk pemerintah agar melakukan perombakan
yang signifikan. Karena semua perubahan akan terasa efektif apabila ada
regulasi yang mengatur dengan sifat formal. Ini yang menjadi tugas bersama bagi
pemerintah dan juga masyarakat untuk mewujudkan solusi yang telah diusulkan
oleh beberpa ahli yang terdapat dalam
makalah ini.
Dengan adanya
kesadaran dan kemauan yang kuat dari berbagai pihak niscaya bangsa Indonesia
akan menjadi bangsa ideal dan patut dicontoh oleh bangsa lain yang memimpikan
kerukunan dalam
perbedaan.
Pemerintah
cukup dengan melibatkan semua kalangan mulai dari cendekiawan, ulama, bahkan
rakyat biasa yang peduli dan mau menuju perubahan menuju kedamaian. Dengan
saran dan rekomendasi tersebut maka diharapkan Indonesia dapat mewujudkan apa
yang diharapkan.
Terlepas dari itu semua, tentunya makalah ini masih belum
sempurna dan memiliki banyak kekurangan dari berbagai aspek. Baik segi
penulisan sampai ke substansi isi yang dijabarkan. Oleh karena itu, penulis
terbuka dengan berbagai masukan yang tentunya membangun bagi penyempurnaan
makalah ini. Selain itu, makalah ini dapat menjadi stimulus bagi peneliti
selanjutnya yang ingin membahas tentang tema serupa.
[1] http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/4/27794/Kolom/Radikalisme_Agama.html
[2] http://samuderailmu.wordpress.com/2008/03/15/radikalisme-reaksi-balik-Islamophobia/
[3] DR.
Mujiburrahman. 2008. MengIndonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar) hal. 24
[4] Agussalim
Sitompul. 2008. Usaha-usaha Mendirikan Negara Islam Dan Pelaksanaan Syariat
Islam Di Indonesia. (Jakarta: Misaka Galiza) hal.35
[5] Prof.
Burhanuddin Daya. 2004. Agama Dialogis. (Yogyalkarta: Mataram-Minang Lintas
Budaya) hal. 120
[6] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap
Terbuka dalam Beragama. (Bandung: Mizan, 1997),
[7] Nurcholish
Madjid. 2008. Islam, Kemodernan dan Keidnonesiaan. (Bandung: Mizan) hal 178
[8] http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/26/telaah-kritis-islam-keindonesiaan/
[9] Solichin.
2010. HMI Candradimuka Mahasiswa. (Jakarta: Sinergi Persadatama). 157
[10] Solichin.
2010. HMI Candradimuka Mahasiswa. (Jakarta: Sinergi Persadatama) hal. 169
[11] Nurcholish
Madjid. 2008. Islam, Kemodernan dan Keidnonesiaan. (Bandung: Mizan)
[12]Edi Susanto, “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural
(Upaya Strategis Menghindari Radikalisme).”KARSA Jurnal Studi KeIslaman, VOL.
IX No. 1 (April 2006) , 785
Comments
Post a Comment